Senin, 19 Oktober 2009

Menyatukan Jaring Wisata Ziarah Walisongo

www.cirebonkotaku.blogspot.com
Sejauh ini, pengelolaan objek wisata ziarah yang terkait dengan Walisongo -berada di tiga provinsi- masih dikelola secara parsial oleh masing-masing pemerintah kabupaten/kota. Akibat nya, masing-masing pemkab atau pemkot cenderung melangkah sendiri-sendiri. Bahkan kebanyakan peziarah pun datang sendiri-sendiri tanpa campur tangan berarti dari sebuah biro perjalanan wisata mana. Padahal, objek wisata ziarah macam ini cukup potensial untuk dikembangkan seintensif objek-objek wisata alam, wisata sejarah, agrowisata, dan sebagainya. Untuk membedah masalah ini, wartawan Suara Merdeka Dudung Abdul Muslim coba mengupasnya lewat beberapa tulisan berikut.

SAMPAI saat ini pandangan umat Islam tentang ziarah ke makam para wali, terutama ulama besar yang termasuk dalam kelompok Walisongo, masih terbelah dua. Sebagian menganggapnya tidak masalah, bahkan bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah yang telah menciptakan wali-wali penyebar ajaran Islam di Jawa. Sebagian kalangan lain menganggap kunjungan ini bisa merusak akidah, terutama akibat terpesona ''secara berlebihan'' oleh karomah yang dimiliki para kekasih Allah tersebut.

Kedua pendapat ini tentu memiliki argumen masing-masing, tetapi tidak pada tempatnya untuk didiskusikan pada ruang terbatas ini. Tulisan ini pun hanya sekadar mengungkap fakta, betapa objek-objek wisata relijius ini ramai dikunjungi orang. Apalagi menjelang dan pada bulan Ramadan lalu.

Sayangnya, pemerintah kabupaten / kota di tujuh daerah yang ''memiliki'' makam waliyullah ini, yaitu Cirebon, Kudus, Demak, Tuban, Gresik, Lamongan, dan Surabaya, hampir tidak pernah menjalin koordinasi, terutama dalam menyatukan jaring-jaring wisata ziarah Walisongo tersebut.

Kecenderungan yang terjadi selama ini, para peziarah datang bersama rombongannya, seperti warga satu kampung/dukuh, anggota jamaah pengajian, dan komunitas tertentu sebagainya. Misalnya seperti aktivitas yang dilakukan pemuda di Desa Maguwoharjo, Kecamatan Depok, Sleman, menjelang bulan Ramadan lalu.

Mereka membayar iuran, yang mana hasilnya dikumpulkan untuk menyewa bus. ''Soal makan ya jadi urusan masing-masing peserta, karena iuran hanya untuk menyewa kendaraan,'' tutur Suraji, salah seorang ketua Rukun Warga (RW) di Maguwoharjo.

Hal serupa juga dialami ibu-ibu pengajian dari RT 02/RW 04 Kelurahan Genuksari, Kota Semarang, tahun lalu. Karena dana terbatas, mereka hanya patungan untuk menyewa kendaraan. Karena alasan dana pula, kebanyakan acara ziarah ke makam Walisongo itu tidak pernah tuntas. Artinya, daya jangkau perziarahan mereka menjadi sangat terbatas.

Masyarakat Jabar dan Banten, misalnya, lebih sering hanya ziarah sampai ke makam Sunan Gunungjati di Cirebon. Kalau ada kelebihan rezeki, mereka baru memperpanjang jarak hingga ke makam Sunan Kalijaga di Kadilangu, Masjid Agung (Demak), serta ke makam Sunan Kudus dan Sunan Muria (keduanya di Kudus).

Sering Dilupakan

Sedangkan ziarah ke makam Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di Lamongan, Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri di Gresik, serta Sunan Ampel di Surabaya jarang dilakukan. Hal serupa juga sering dialami para peziarah dari Jateng-DIY, yang acapkali ''melupakan'' kunjungan ke Cirebon. Kalau pun merambah ke Jatim, paling banter hanya sampai di Tuban.

Dalam konteks lebih mengenal dari dekat para penyebar Islam di Jawa, maka pemilihan objek tertentu saja bisa membiaskan perjuangan wali-wali tertentu (meski para wali jelas tak pernah minta diziarahi-Red). Jika kunjungan ini dinikmati anak-anak dan remaja, dikhawatirkan warga Jateng-DIY hanya lebih mengenal tiga wali yang dimakamkan di Jateng (dua di Kudus dan satu di Demak).

Begitu pula dengan masyarakat di Jatim, yang kemungkinan hanya lebih mengenal lima dari sembilan wali yang kesohor itu. Atau warga masyarakat Jabar yang hanya lebih mengagungkan Sunan Gunungjati, cuma karena kedekatan mereka dengan objek wisata tersebut.

Karena itu, sudah selayaknya jika masing-masing pemkot dan pemkab -bahkan kalau perlu antarpemprov- bisa meningkatkan jalinan koordinasinya, sehingga acara perziarahan ke makam Walisongo bisa dilakukan secara lebih utuh. Di sinilah peran biro perjalanan wisata (relijius) menjadi sangat penting.

Peran Biro Perjalanan

Selama ini, biro perjalanan wisata lebih tertarik mendekati objek-objek wisata alam, dan masih sedikit sekali yang melirik potensi wisata relijius. Padahal jika dikembangkan dengan kiat-kiat tertentu, wisata ziarah bisa menjadi alternatif baru dalam hal refreshing sekaligus pembeningan ruhani.

Potensi ini justru sudah diambil beberapa biro perjalanan di Malaysia, yang menawarkan paket wisata ziarah Walisongo secara komplet. Beberapa agen / biro membawa rombongan dari Kuala Lumpur menuju Jakarta melalui jalur penerbangan udara. Dari Ibu Kota RI, rombongan dibawa ke Cirebon melalui perjalanan darat, dengan menggunakan bus AC.

Perjalanan dilanjutkan ke Demak, Kudus, kemudian Tuban, Lamongan, Gresik, dan berakhir di Surabaya. Dari Kota Pahlawan, rombongan langsung diterbangkan kembali ke Kuala Lumpur. Sembilan makam wali ini bisa diziarahi dengan waktu sekitar 4-5 hari, dengan biaya untuk orang dewasa 2.085 RM (satu kamar dua orang), 2.485 RM (1 kamar untuk 1 orang), dan anak-anak 1.790 RM.

Harga itu pun sudah termasuk tiket penerbangan pulang-pergi Kuala Lumpur-Jakarta dan Surabaya-Kuala Lumpur, menginap di hotel, serta makan di restoran. Bahkan apabila rombongan melebihi 30 orang , panitia mengadakan acara khusus bersama para siswa-siswi pondok pesantren dan penduduk setempat, misalnya untuk salat berjamaah, makan bersama, dan pengajian/ceramah.

Selain biro perjalanan di Malaysia, paket ziarah walisongo juga diselenggarakan beberapa biro perjalanan di luar Jawa. Misalnya Borneo Indo Tours yang bermarkas di Banjarmasin. Bahkan biro ini acapkali menggelar paket ziarah Walisongo plus. Selain didampingi ustad, panitia juga menyediakan kendaraan parawisata full AC yang nyaman, menginap di hotel, dan menikmati hidangan di restoran.

Berbeda dari Malaysia yang mengawali turnya dari Cirebon, Borneo justru mengawalinya ke Surabaya. Hal ini mengingat tur menggunakan kapal jurusan Banjarmasin-Surabaya (kelas ekonomi). Di Kota Pahlawan, rombongan diajak ke makam Sunan Ampel, kemudian ke Gresik untuk berziarah ke makam Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri, serta ke makam Sunan Drajat (Lamongan), dan Sunan Bonang (Tuban).

Dari Tuban, rombongan menuju ke Kudus dan Demak, setelah itu ke Cirebon. Dari Cirebon, bus kembali ke Surabaya dan rombongan balik ke Banjarmasin. Waktu yang dibutuhkan sekitar tujuh hari, dengan biaya Rp 875.000/orang (rombongan 25 orang), atau Rp 795.000 (rombongan lebih dari 35 orang).

Kalau selama ini biro perjalanan kurang tertarik dengan objek wisata ziarah Walisongo, tentu ada sebabnya. Salah satunya adalah kenyamanan objek itu sendiri. Hampir semua objek selalu diramaikan oleh kehadiran pengemis. Kendati sebagian orang suka bersedekah di tempat keramat seperti itu, tetapi kalau jumlahnya membeludak pasti menurunkan juga tingkat kenyamanan pengunjung.

Pemandangan ini dijumpai sejak di makam Sunan Gunungjati di Cirebon hingga Sunan Ampel di Surabaya. Di sinilah sangat diperlukan peran pemkab/pemkot, terutama untuk menertibkan mereka. Sebab, seperti di kota-kota lain, tak selamanya pengemis itu orang tak punya. Mereka menjadikan pekerjaan ini sebagaimana profesi lainnya. Bahkan pendapatan mereka terkadang lebih besar daripada buruh pabrik yang sudah kerja selama 10 tahun lebih!

Pengembangan wisata ziarah, yang notabene merupakan salah satu bentuk kegiatan pariwisata, juga perlu disosialisasikan. Sehingga kegiatan-kegiatannya tak menyimpang dari ketentuan yang berlaku, baik dalam kehidupan bermasyarakat, aturan, dan norma-norma agama. Siapa yang berani menjadi pionir? (48)