http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1104/22/teropong/lainnya2.htm
DINASTI Sang Prabu Siliwangi pada abad ke-15,
menjadikan Islam sebagai agamanya secara aman dan
damai. Diawali dengan sebab adanya pernikahan kedua
Sang Prabu Siliwangi dengan Subang Larang putri Ki
Gedeng Tapa, Syah Bandar Cirebon. Subang Larang adalah
santri Syekh Kuro atau Syekh Hasanuddin dengan
pesantrennya di Karawang. Dinasti Sang Prabu Siliwangi
dari pernikahannya dengan Subang Larang, terlahirlah
tiga orang putra putri. Pertama, Pangeran
Walangsungsang, kedua, Nyai Lara Santang dan ketiga
Raja Sangara. Ketiga-tiganya masuk Islam.
Pesantren Syekh Kuro
Syekh Kuro yang dikenal pula dengan nama Syekh
Hasanuddin, memegang peranan penting dalam masuknya
pengaruh ajaran Islam ke keluarga Sang Prabu
Siliwangi. Persahabatan Ki Gedeng Tapa dengan Syekh
Kuro, menjadikan putrinya, Subang Larang masantren di
Pesantren Syekh Kuro. Adapun kedudukan Ki Gedeng Tapa
adalah sebagai Syahbandar di Cirebon. Menggantikan Ki
Gedeng Sindangkasih setelah wafat. Ki Gedeng Tapa
dikenal pula dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati.
Dalam Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari-CPCN karya
Pangeran Arya Cirebon yang ditulis (1720) atas dasar
Negarakerta Bumi, menuturkan bahwa Ki Gedeng
Sinangkasih memiliki kewenangan yang besar. Tidak
hanya sebagai Syahbandar di Cirebon semata. Ternyata
juga memiliki kewenangan mengangkat menantunya, Raden
Pamanah Rasa sebagai Maharaja Pakwan Pajajaran dengan
gelar Sang Prabu Siliwangi.
Adapun istri pertama Sang Prabu Siliwangi adalah Nyi
Ambet Kasih putri kandung Ki Gedeng Sindangkasih.
Istri kedua, Subang Larang putri Ki Gedeng Tapa.
Isteri ketiga, Nyai Aciputih Putri dari Ki Dampu
Awang.
Dari peristiwa pergantian kedudukan di atas ini,
antara Ki Gedeng Tapa dan Sang Prabu Siliwangi
memiliki kesamaan pewarisan. Keduanya memperoleh
kekuasaan berasal dari Ki Gedeng Sindangkasih setelah
wafat. Hubungan antara keduanya dikuatkan dengan
pertalian pernikahan. Sang Prabu Siliwangi
mempersunting putri Ki Gedeng Tapa yakni Subang
Larang. Dengan demikian Sang Prabu Siliwangi adalah
menantu Ki Gedeng Tapa.
Pernikahan di atas ini, mempunyai pengaruh yang besar
terhadap kekuasaan politik yang sedang diemban oleh
Sang Prabu Siliwangi. Tidaklah mungkin kelancaran
kehidupan Kerajaan Hindu Pajajaran, tanpa kerja sama
ekonomi dengan Syahbandar Cirebon, Ki Gedeng Tapa.
Begitu pula sebaliknya, Ki Gedeng Tapa tidak mungkin
aman kekuasaannya sebagai Syahbandar, bila tanpa
perlindungan politik dari Sang Prabu Siliwangi. Guna
memperkuat power of relation antar keduanya, maka
diikat dengan tali pernikahan.
Pengaruh eksternal
Pengaruh islamisasi terhadap Dinasti Sang Prabu
Siliwangi tidak dapat dilepaskan hubungan dengan
pengaruh Islam di luar negeri. Di Timur Tengah,
Fatimiyah (1171) dan Abbasiyah (1258) memang sudah
tiada digantikan oleh kekuasaan Mamluk di Mesir dan
Mongol di Baghdad. Namun pada kelanjutan Dinasti Khu
Bilai Khan, Mongol pun memeluk Islam. Kemudian
membangun kekaisaran Mongol Islam di India.
Perkembangan kekuasaan politik Islam di Timur Tengah
di bawah Turki semakin berjaya. Konstantinopel dapat
dikuasainya (1453). Di Cina Dinasti Ming (1363-1644)
memberikan kesempatan orang-orang Islam untuk duduk
dalam pemerintahan. Antara lain Laksamana Muslim Cheng
Ho ditugaskan oleh Kaisar Yung Lo memimpin misi
muhibah ke-36 negara. Antara lain ke Timur Tengah dan
Nusantara (1405-1430). Membawa pasukan muslim 27.000
dengan 62 kapal. Demikian penuturan Lee Khoon Choy,
dalam Indonesia Between Myth and Reality. Di Cirebon
Laksmana Cheng Ho membangun mercusuar. Di Semarang
mendirikan Kelenteng Sam Po Kong.
Misi muhibah Laksamana Cheng Ho tidak melakukan
perampokan atau penjajahan. Bahkan memberikan bantuan
membangun sesuatu yang diperlukan oleh wilayah yang
didatanginya. Seperti Cirebon dengan mercusuarnya.
Oleh karena itu, kedatangan Laksamana Cheng Ho
disambut gembira oleh Ki Gedeng Tapa sebagai
Syahbandar Cirebon.
Perubahan tatanan dunia politik dan ekonomi yang
dipengaruhi oleh Islam seperti di atas, berdampak
besar dalam keluarga Sang Prabu Siliwangi. Terutama
sekali pengaruhnya terhadap Ki Gedeng Tapa sebagai
Syahbandar di Cirebon.
Karena sangat banyak kapal niaga muslim yang berlabuh
di pelabuhan Cirebon, kapal niaga dari India Islam,
Timur Tengah Islam dan Cina Islam. Pembangunan
mercusuar di pelabuhan Cirebon memungkinkan tumbuhnya
rasa simpati Ki Gedeng Tapa sebagai Syahbandar Cirebon
terhadap Islam. Dapat dilihat dari putrinya Subang
Larang, sebelum dinikahkan dengan Sang Prabu
Siliwangi, dipesantrenkan terlebih dahulu ke Syekh
Kuro. Di bawah kondisi keluarga dan pengaruh eksternal
yang demikian ini, putra putri Sang Prabu Siliwangi
mencoba lebih mendalami Islam dengan berguru ke Syekh
Datuk Kahfi dan Naik Haji.
Gunung dan guru
Naskah Carita Purwaka Caruban Nagari kelanjutannya
menuturkan, setiap dalam upaya pencarian guru pasti
tempat tinggalnya ada di Gunung. Tampaknya sudah
menjadi rumus, para Guru Besar Agama atau Nabi selalu
berada di Gunung. Dapat kita baca Rasulullah saw juga
menerima wahyu Al Quran dan diangkat sebagai Rasul di
Jabal Nur. Jauh sebelumnya, Nabi Adam as dijumpakan
kembali dengan Siti Hawa ra, di Jabal Rahmah.
Tempat pendaratan Kapal Nuh as setelah banjir mereda
di Jabal Hud. Pengangkatan Musa as sebagai Nabi di
Jabal Tursina. Demikian pula Wali Sanga selalu terkait
aktivitas dakwah atau ma kamnya dengan gunung. Tidak
berbeda dengan kisah islamisasi putra putri Prabu
Siliwangi erat hubungannya dengan guru-guru yang
berada di gunung.
Subang Larang tidak mungkin mengajari Islam putra
putrinya sendiri di istana Pakuan Pajajaran. Diizinkan
putra pertamanya Pangeran Walangsungsang untuk berguru
ke Syekh Datuk Kahfi di Gunung Amparan Jati. Di sini
Pangeran Walangsungsang diberi nama Samadullah.
Walaupun demikian Pangeran Walangsungsang harus pula
berguru kedua guru Sanghyang Naga di Gunung Ciangkap
dan Nagagini di Gunung Cangak. Di sini Pangeran
Walangsungsang diberikan gelar Kamadullah. Di Gunung
Cangak ini pula berhasil mengalahkan Raja Bango.
Pangeran Walangsungsang diberi gelar baru lagi Raden
Kuncung. Dari data yang demikian, penambahan atau
pergantian nama memiliki pengertian sebagai ijazah
lulus dan wisuda dari studi di suatu perguruan.
Dengan cara yang sama Lara Santang harus pula mengaji
ke Syekh Datuk Kahfi Cirebon. Dalam Naskah Babad
Cirebon dikisahkan Lara Santang sebelum sampai ke
Cirebon, berguru terlebih dahulu ke Nyai Ajar Sekati
di Gunung Tangkuban Perahu. Kemudian menyusul berguru
ke Ajar Cilawung di Gunung Cilawung. Di sini setelah
lulus diberi nama Nyai Eling.
Naik haji
Atas anjuran Syekh Datuk Kahfi agar Pangeran
Walangsungsang dan Lara Santang Naik Haji. Ternyata
dalam masa Ibadah Haji di Makkah, Lara Santang
dipersunting oleh Maolana Sultan Mahmud disebut pula
Syarif Abdullah dari Mesir. Lara Santang setelah haji
dikenal dengan nama Syarif Mudaim. Dari pernikahannya
dengan Syarif Abdullah, lahir putranya, Syarif
Hidayatullah pada 12 Mualid 1448 dikenal pula setelah
wafat dengan nama Sunan Gunung Jati. Dan putra kedua
adalah Syarif Nurullah.
Walangsungsang setelah haji, dikenal dengan nama Haji
Abdullah Iman. Karena sebagai Kuwu di Pakungwati,
dikenal dengan nama Cakrabuana. Prestasi Cakrabuana
yang demikian menarik perhatian Sang Prabu Siliwangi,
diberi gelar Sri Mangana. Pengakuan Sang Prabu
Siliwangi yang demikian ini, menjadikan adik
Walangsungsang atau Cakrabuana, yakni Raja Sangara
masuk Islam dan naik haji kemudian berubah nama
menjadi Haji Mansur.
Untuk lebih lengkapnya kisah islamisasi Dinasti Sang
Prabu Siliwangi, dapat dibaca pada Dr. H. Dadan Wildan
M.Hum, Sunan Gunung Jati Antara Fiksi dan Fakta.
Silsilah Prabu Siliwangi
Kembali ke masalah pokok artikel saya di atas ini.
Suatu artikel yang saya angkat dari karya Dr. H. Dadan
Wildan M.Hum. Bagi saya sejarah Prabu Siliwangi
merupakan belukar yang sukar saya pahami. Dari karya
Dr. H. Dadan Wildan M.Hum ada bagian sangat menarik,
Carita Purwaka Caruban Nagari-CPCN karya Pangeran Arya
Cerbon 1720. Diangkat dari terjemahannya karya
Pangeran Sulendraningrat (1972), dan Drs. Atja (1986).
Prabu Siliwangi seorang raja besar dari Pakuan
Pajajaran. Putra dari Prabu Anggalarang dari dinasti
Galuh yang berkuasa di Surawisesa atau Kraton Galuh.
Pada masa mudanya dikenal dengan nama Raden Pamanah
Rasa. Diasuh oleh Ki Gedeng Sindangkasih, seorang juru
pelabuhan Muara Jati.
Istri pertama adalah Nyi Ambetkasih, putri dari Ki
Gedengkasih. Istri kedua, Nyai Subang Larang putri
dari Ki Gedeng Tapa. Ketiga, Aciputih Putri dari Ki
Dampu Awang.
Selain itu, CPCN juga menuturkan silsilah Prabu
Siliwangi sebagai ke turunan ke-12 dari Maharaja
Adimulia. Selanjutnya bila diurut dari bawah ke atas,
Prabu Siliwangi (12) adalah putra dari (11) Prabu
Anggalarang, (10) Prabu Mundingkati (9) Prabu
Banyakwangi (8) Banyaklarang (7) Prabu Susuk tunggal
(6) Prabu Wastukencana (5) Prabu Linggawesi (4) Prabu
Linggahiyang (3) Sri Ratu Purbasari (2) Prabu
Ciungwanara (1) Maharaja Adimulia. Sudah menjadi
tradisi penulisan silsilah, hanya menuliskan urutan
nama. Tidak dituturkan peristiwa apa yang dihadapi
pada zaman pelaku sejarah yang menyangdang nama-nama
tersebut. Kadang-kadang juga disebut makamnya di mana.
Pengenalan Islam
Adapun Dinasti Prabu Siliwangi yang masuk Islam adalah
dari garis ibu, Subang Larang. Dapat dipastikan dari
Subang Larang ajaran Islam mulai dikenal oleh
putra-putrinya. Walaupun Subang Larang sebagai putri
Ki Gedeng Taparaja Singapora bawahan dari Kerajaan
Pajajaran. Namun Subang Larang adalah murid dari Syekh
Hasanuddin atau dikenal pula sebagai Syekh Kuro.
Adapun putra pertama adalah Walangsungsang. Kedua,
putri Nyai Larang Santang. Ketiga, Raja Sangara. Tidak
mungkin Subang Larang dengan bebas membelajarkan
ajaran Islam secara terbuka dalam lingkungan istana.
Oleh karena itu, Walangsungsang, mempelopori
meninggalkan istana dan berguru kepada Syekh Datuk
Kahfi di Gunung Amparan Jati di Cirebon. Syekh Datuk
Kahfi dikenal pula dengan nama Syekh Nuruljati.
Dalam pengajian dengan Syekh Nurjati, diwisuda dengan
ditandai pergantian nama menjadi Ki Somadullah.
Kemudian membuka pedukuhan baru, Kebon Pesisir.
Kelanjutannya menikah dengan Nyai Kencana Larang putri
Ki Gedeng Alang Alang. Dari sini memperoleh gelar baru
Ki Wirabumi.***
-Penulis adalah ahli sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar