Cirebon dulu hanyalah sebuah pedukuhan kecil bagian dari sebuah negeri besar Pakuan Pajajaran yang memiliki pelabuhan laut yang terletak di kaki Gunung Sembung dan Amparan Jati, sementara daerah lainnya masih berupa hutan belukar. Naskah kuno berjudul Carita Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon yang ditulis tahun 1702 Masehi mengisahkan bahwa Dukuh Pasambangan pada tahun 1482, masih menjadi daerah kekuasaan Pakuan Pajajaran dengan raja yang berkuasa Prabu Siliwangi.
Yang patut dicatat dan direnungi, penguasa pelabuhan Cirebon masa itu begitu menghormati tokoh agama Islam yang mendirikan pesantren di sekitar pelabuhan meski ia sendiri bukan pemeluk Islam. Maka tokoh agama dan seorang kiai asal Mekah yang bernama Syekh Datuk Kahpi atau Syekh Idhofi juga disebut Syekh Nuruljati, membalas penghormatan penguasa pedukuhan itu dengan membantu pembangunan pedukuhan Cirebon, hingga berkembang pesat menjadi sebuah pedukuhan dengan pelabuhan yang besar dan terkenal di kalangan pedagang nasional maupun internasional. Setiap harinya pelabuhan ini dilabuhi banyak perahu dari berbagai negeri seperti dari Cina, Arab, Parsi, India, Malaka, Tumasik, Pasei, Jawa Timur, Madura, dan Palembang.
Peran Kiai Syekh Datuk Kahpi dan para santrinya kala itu dalam membangun kejayaan Cirebon tampak sangat menonjol. Islam di Cirebon kala itu berkembang pesat hingga mengalahkan agama yang lama, ternyata dibangun bukan dengan gerakan anarkis atau dengan perjuangan yang berdarah-darah. Kiai Syekh Datuk Kahpi mensyiarkan Islam dengan mewujudkan sabda Rasulullah saw., yakni dengan menebar citra bahwa Islam itu adalah agama yang menebar rahmatan lil ‘alamin.
Rupanya Kiai Syekh Datuk Kahpi paham benar tentang ajaran Islam sebagaimana yang di firmankan Allah SWT dalam Alquran Surat Al- Qashash:77 yang terjemahannya berbunyi, “…dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan“.
Maka nama besar Kiai Syekh Datuk Kahpi ini menebar ke berbagai negeri. Tak pelak, namanya membuat dua anak Maha Raja Pakuan Pajajaran Prabu Siliwangi, bernama Raden Walangsungsang dan Nyai Lara Santang, menjadi santri di Pondok Pesantren Syekh Datuk Kahfi di Gunung Amparan Jati.
Dalam mendidik, Kiai Syekh Datuk Kahpi tidak mengajarkan terorisme terhadap para santrinya. Seperti yang tertulis dalam naskah kuno berjudul Carita Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon yang ditulis tahun 1702 Masehi. Kiai Syekh Datuk Kahpi selain mengajarkan ilmu keagamaan juga mengajarkan ilmu kehidupan. Sebagai contoh, saat dua orang santri, putra Prabu Siliwangi, selesai belajar ilmu agama selama tiga tahun, Kiai Syekh Datuk Kahfi menerjunkan para santrinya itu - dipimpin santri bernama Raden Walangsungsang - untuk babad alas/membuka hutan belukar untuk mendirikan pedukuhan di kebon pesisir, Lemahwungkuk yang pada waktu itu disebut Tegal Alang-alang.
Hasilnya menggembirakan. Para santri menunjukkan hasil dalam babad alas. Atas keberhasilan babad alas ini, Raden Walangsungsang - selaku pimpinan babad alas dijuluki Ki Samadullah oleh Kiai Syekh Datuk Kahpi. Dan setelah babad alas usai, Ki Samadullah pun mendirikan tajug baru dan membuat gubuk.
Dalam hitungan tahun pedukuhan ini makin lama bertambah ramai. Banyak orang berdatangan untuk berdagang dan menangkap ikan. Komandan santri yang babad alas Cerbon ini menikah. Pedukuhan ini berubah menjadi sebuah desa yang bernama Desa Caruban Larang. Kuwu pertama adalah mertua Ki Samadullah yakni Ki Danusela yang bergelar Ki Gedeng Alang-alang. Sementara Ki Samadullah diangkat menjadi pangraksa bumi.
Kepiawaian sosok santri Raden Walangsungsang alias Ki Samadullah ini mampu menarik simpatik banyak orang. Sehingga dalam tiga tahun Desa Caruban Larang banyak dikunjungi orang untuk berdagang bahkan berdiam menjadi penduduk setempat. Mereka yang berdiam di Desa Caruban larang adalah orang-orang dari berbagai bangsa dan berbagai agama serta berbagai profesi. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan yang dipegang oleh seorang santri mampu mengayomi banyak orang dari berbagai bangsa, agama, dan pekerjaan. Ki Samadullah juga dikenal banyak menolong bukan cuma dari golongan sendiri tapi juga kepada orang dari golongan lain yang memang perlu dan membutuhkan pertolongan.
Atas saran dari gurunya Kiai Syekh Datuk Kahfi, Ki Samadullah dan adiknya Nyi Mas Lara Santang menunaikan ibadah haji dan belajar agama Islam di Makah kepada Syekh Abdul Yazid. Ki Samadullah - santri Syekh Datuk Kahfi ini , sepulang dari Makah mengajar agama Islam pada penduduk di Caruban. Makin lama makin banyak pengikut Ki Samadullah.
Ki Samadullah yang mendapat gelar Pangeran Cakrabuwana membangun keraton dengan berbagai kemudahan . Semua kemudahan itu tidak terlepas dari sikap hidupnya yang selalu menolong sesama. Ia telah mendapat pertolongan Allah SWT. Sebagaimana hadis Nabi Muhammad saw., “Allah menolong seorang hamba selama hamba termaksud (suka) menolong sesama”.
Ki Samadullah ini merintis pembangunan kota yang sekarang berkembang menjadi Cirebon diperkirakan jatuh pada tahun 1445 Masehi. Ia adalah perintis adanya Cirebon sebagai sebuah negara yang berdaulat. Keberhasilan Ki Samadullah dalam membangun Cirebon diteruskan oleh seorang santri lainnya yang juga keponakan Ki Samadullah bernama Syekh Syarif Hidayat (belakangan dikenal dengan nama Sunan Gunung Djati), yakni cucu Prabu Siliwangi.
Keilmuan yang dimiliki santri Syarif Hidayat ini tak perlu diragukan. Sebab pada usia 20 tahun, ia telah mesantren ke berbagai negeri pusat agama Islam. Sunan Gunung Djati alias Syarif Hidayat pernah menjadi santrinya Syekh Tajuddin Al-Kubri Makkah selama 2 tahun dan menjadi santrinya Syekh Ata’ullahi Sadzili, pengikut Imam Safi’i, selama 2 tahun. Kemudian belajar tasawuf di Baghdad Irak. Tamat belajar dari Baghdad Sunan Gunung Djati mondok di Pasei Aceh dan berguru pada Sayid Ishaq selama 2 tahun.
Tahun 1470 Masehi Sunan Gunung Djati membuka pondok pesantren di Gunung Sembung (sekarang Desa Astana Kecamatan Cirebon Utara). Tahun 1479 Masehi Sunan Gunung Djati menjadi Tumenggung bergelar Susuhunan Jati dengan berkedudukan di Keraton Pakungwati. Bersamaan dengan itu Sunan Gunung Djati dinobatkan sebagai Penegak Panatagama Islam yakni wali di seluruh wilayah Sunda oleh para Wali Sanga, menggantikan guru ngajinya Syekh Datuk Kahpi atau Syekh Nurul Jati yang telah wafat.
Kepemimpinan Sunan Gunung Djati dengan syiar Islam yang mengajak rakyat untuk beriman dan bertakwa kepada Allah SWT membuahkan hasil yang menggembirakan. Cirebon dibangun dengan tapak sejarah kemaksiatan. Terbukti penduduk Cirebon semasa kepemimpinan Sunan Gunung Djati sebagian besar berubah agama menjadi penduduk beragama Islam yang memelihara keimanan dan ketakwaan secara kaffah.
Bahkan saat Sunan Gunung Djati memproklamasikan Cirebon sebagai negara berdaulat dan tidak lagi menjadi daerah jajahan Pakuan Pajajaran, tanpa mengacungkan pedang dan mengumandangkan genderang perang saudara. Cirebon menjadi negara Islam yang besar dan berjaya di Jawa Barat dengan penduduknya yang makmur.
Keberhasilan Sunan Gunung Djati dalam memimpin negeri Cirebon hanya dan lantaran mengamalkan perintah Allah SWT dalam firman- Nya, “Jikalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa,pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi” (Al-A’raf:96). “…Barang siapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberikan rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluanya)-nya” (A-Talaq :2-3).
Inilah bukti sejarah yang tak terbantahkan bahwa peran para santri, para kiai beserta komunitas pesantrennya begitu penting dalam menentukan keberadaan Cirebon sebagai negeri yang berjaya. Para santri dan kiai beserta komunitas pesantrennya di Cirebon semestinya tak terabaikan begitu saja, apalagi terpinggirkan seperti saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar