Senin, 29 September 2008

PELESTARIAN BANGUNAN KUNO

www.cirebonkotaku.blogspot.com
Antariksa

KELENTENG berusia 500 tahun di Cirebon terancam kelestariannya. Keindahan seni bangunannya yang khas, perpaduan antara ketrampilan para tukang setempat dan pimpinan pendirinya Muhammad Syafi’I (Tan Sam Tjay) di tahun 1450, sedang dalam proses penghancuran, demi sebuah rumah duka. Kemungkinan besar segera tinggal dalam kenangan (Kompas, 14 Oktober 1987). Nasib juga menimpa bangunan kuno yang digunakan sebagai asrama polisi di Jalan Ngemplak Surabaya, mulai dibongkar dan diratakan dengan tanah (Suara Indonesia, 8 Juni 1988).
Tentunya masih banyak lagi kejadian semacam itu yang terjadi di kota-kota besar lainnya di Indonesia, yang banyak meninggalkan warisan budaya bangunan kunonya. Kejadian tersebut terasa menyakitkan karena makin lama nilai sejarah sebuah kota akan terhapuskan oleh ulah sebuah perencanaan yang mengatasnamakan kepentingan masyarakat banyak. Tak lain tempat tersebut dibangun fasilitas umum berupa pusat perbelanjaan (super market).
Usaha pelestarian juga sudah dimulai untuk bangunan-bangunan yang mempunyai nilai sejarah besar. Di Jakarta seperti bangunan Masjid (Jami’ Al Mansyur, Jami’ Annawar, Jami’ Al Anshor, Jami’ Al Annawir, dan sebagainya), bangunan Gereja (Emmanuel, Sion, Tugu, dan sebagainya), bangunan Museum (Keramik dan Seni Rupa, Tekstil, Bahari, dan sebagainya). Yogyakarta dengan kawasan Keraton dan Benteng Vredenburg yang dibangun tahun 1701 sudah dipugar saat ini, kemudian Benteng Vastenburg di Surakarta, dan tak ketinggalan Cilacap menguak dengan diketemukannya Benteng Pendem bekas peninggalan Portugis mulai dipugar pula.
Kota Bandung yang penuh peninggalan arsitektur kolonial juga memberikan andil terbanyak di dalam pelestarian bangunan kunonya. Di sini dapat terlihat berbagai bentuk gaya arsitektur Belanda, Cina, Islam, bahkan sampai pada perpaduan Indonesia dan Eropa. Ini merupakan salah satu kekayaan yang tak terhingga nilainya. Bangunan-bangunan peninggalan kolonial seperti, kantor, bank, gereja, rumah tinggal, dan sebagainya. Semua merupakan karya arsitek Belanda yang muncul sekitar tahun 1920-an dikembangkan oleh Ir. Macline Pont, Ir. Thomas Karsten, Prof. CPW Schoemaker, J. Berger, Ed Cuypers, dan masih banyak lagi. Hanya Prof. CPW Schoemaker yang menonjolkan gaya Art Deco (gaya seni yang berkecamuk di Eropa sehabis Perang Dunia I, tahun 1920-an). Arsitek lain seperti J. Berger (gedung Sate), Macline Pont (gedung ITB), dan Ed Cuypers (Bank Indonesia) ketiganya mampu menampilkan gaya arsitektur untuk daerah tropis. Gaya khas ini mengacu pada perpaduan lokal-tradisional Indonesia dengan teknik konstruksi Barat, sehingga dijuluki Prof. Schoemaker sebagai Indo-Europeesche Architectuurstijl.
Memang sangat menarik apa yang berkembang pada saat ini, yaitu tentang suatu kesadaran akan sebuah warisan budaya. Pelestarian budaya terhadap bangunan kuno sudah menjadi kesadaran masyarakat. Apalagi pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan akhir Februari 1988 lalu mengeluarkan Keputusan No. 0128/M/1988 mengenai perlindungan sejumlah gedung sebagai cagar budaya. Berarti dengan adanya keputusan tersebut tentunya akan lebih memperkuat Monumenten Ordonansi Stab 1 No. 238 Tahun 1931.
Kalau ditelaah mempunyai pengertian yang sangat luas, tidak sekedar sebuah pelestarian, tetapi dapat pula dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan serta pengembangan ilmu pengetahuan di dalam membina bangsa. Dengan demikian secara tegas gedung-gedung yang termasuk cagar budaya itu tidak boleh dibongkar atau dirubah bentuknya, baik “living monument” (keraton, rumah adat, dan bangunan bersejarah) maupun “dead monument” candi-candi), tanpa seijin Dirjen Kebudayaan dalam hal ini Direktur Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala. Apabila kita bertolak dari berbagai manfaat dari nilai-nilai kehidupan masyarakat lampau yang terkandung dalam peninggalan sejarah bangunan maupun gedung kuno, maka suatu keharusan untuk memlihara dan melindungi terhadapnya. Dengan demikian aspek yang dikandung dalam peninggalan sejarah dari tanah air kita, dapat digambarkan atau diungkapkan kembali. Secara sederhana seperti dikatakan Kempers: “as the systimatic study of antiqueties as a means of reconstructing the past” (Herstel in Eigenwarde Monumentenzorg in Indonesie, Dewalburg Pers Zutphen, 1978).

Wajah Kota Berbudaya
Proses perjalanan sejarah telah membawa masing-masing kota menjadi keadaan yang sekarang ini, lalu bagaimana dengan kota Malang? Apakah nuansa yang khas masih ada, seperti kawasan alun-alun dengan kantor, bank, masjid, gereja dan penjara wanitanya. Atau kawasan Ijen dengan lingkungan perumahan yang khas peninggalan kolonial Belanda, ternyata tidak dapat bertahan lama. Perubahan terjadi begitu cepat tanpa terkendali, terutama bentuk arsitekturnya yang justru menjadi ciri khas kota Malang. Di sini penentu kebijakan mempunyai peran besar terhadap masalah ini, perlu adanya peraturan yang memberlakukan perubahan maupun pemugaran bangunan gedung maupun rumah tinggal, yang terdapat dalam kawasan yang dilindungi.
Kemudian untuk Penjara Wanita yang terdapat di alun-alun Malang dan sudah tidak berfungsi lagi, sebaiknya dapat dipertahankan dan dipugar lagi. Melalui upaya pelestarian ini, banyak manfaat yang akan didapat pertama menjadikan daya tarik wisatawan untuk mengunjungi dan melihatnya. Kedua sebagai sarana penelitian, pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan terutama mengenai sejarah dan bangunannya, ketiga rasa memiliki dari perjalanan sejarah bangsanya.
Seperti diungkapkan oleh JJA. Woorsaae seorang ahli hukum dari Universitas Kopenhagen Denmark, pada pertengahan abad ke-19 mengatakan, “bangsa besar adalah bangsa yang tidak hanya melihat masa kini dan masa mendatang, tetapi mau berpaling ke masa lampau untuk menyimak perjalanan yang telah dilaluinya.” Bahkan filosuf Aguste Comte, mengatakan: “Savoir Pour Prevoir”, yang diartikan sebagai, mempelajari masa lalu, melihat masa kini, untuk menentukan masa depan. Memang perlu kita sadari bahwa hasil pelestarian akan memberikan gambaran tentang perjalanan suatu bangsa, hakekat apa yang tersandang dari perjalanan itu, dan tentu saja identitas budaya bangsanya. Hal ini dimaksud agar wajah kota kelak dapat menceriterakan dan menyajikan kepada anak cucu kita, mengenai perjalanan sejarah bangsanya melalui bangunan atau gedungnya.
Kota Malang mungkin masih punya ciri lain dibanding dengan kota lainnya. Di sini orang akan menemukan bentuk dan gaya arsitektur, terutama arsitektur Belanda dengan sedikit bumbu perpaduan antara Indonesia dengan Eropa. Kekayaan ini sebenarnya merupakan kebanggaan yang tak ternilai harganya. Masih banyak sisa bangunan yang masih dapat dijadikan harga diri kota Malang, seperti kawasan Ijen dengan permukiman bergaya arsitektur kolonial membujur di sepanjang kiri dan kanan jalan. Permukiman di sekitar kawasan tersebut juga masih terdapat beberapa bangunan yang berciri khas arsitektur kolonial.
Namun tidak banyak disadari, oleh warga masyarakat maupun penentu kebijakan, sehingga bangunan-bangunan kuno dan bahkan antik banyak dianggap ketinggalan jaman yang sewaktu-waktu dapat terancam kehadirannya. Bangunan rumah tinggal yang berada di kawasan Ijen misalnya, perlahan tapi pasti mulai berubah karena selera pemiliknya. Atau karena dorongan kebutuhan untuk membangun yang terus meningkat. Perubahan yang terjadi harus dapat dilihat sejauh mana batas kewajarannya, apa hanya menata kembali wujud fisik luarnya, atau merubah bentuk dan strukturnya. Masalah inilah yang harus dipertanyakan, sejauh mana pemilik rumah tinggal tersebut diperbolehkan untuk mempertahankan atau melestarikan rumahnya. Semestinya tidak hanya bangunan kuno saja yang perlu untuk dilestarikan, tetapi juga wilayah kota yang dipertahankan sebagai cagar budaya, karena peninggalan-peninggalan arkeologi yang tersisa masih cukup banyak.
Kehendak untuk membangun dan memperluas kota sebaiknya dipertimbangkan masak-masak, karena dampak akan lingkungan pasti akan terjadi jika kita tidak hati-hati. Jika masalah di atas tidak dipikirkan secara benar, persoalan-persoalan semacam itu masih akan terus terasa, malah makin lama akan makin parah jika tidak direalisir secara bersama, antara penentu kebijakan kota dan masyarakat.
Keterlibatan dan peran serta masyarakat kota perlu untuk diikutsertakan dalam pelestarian ini, baik perencanaan, pelaksanaan maupun pemeliharaannya. Dengan demikian, tangung jawab akan rasa memiliki kota dan bangunan dapat dipikul bersama, dan akhirnya kota akan menjadi tumpuan hidup bersama. Seperti diungkapkan oleh kritikus Peter Blake, bahwa arsitektur masa depan adalah kota.
Sudah selayaknya kita harus realistis terhadap perkembangan sejarah sebuah kota yang di dalamnya juga terkandung masyarakat dan budayanya. Atau kita juga harus belajar dari kota lain yang sedang giat melaksanakan pelestarian. Kedua hal di atas dapat dijadikan tonggak, sebagai awal pemikiran untuk pengetrapan pelaksanaan nantinya. Kalau tidak dimulai dari sekarang, kebijakan mengenai perlindungan dan pelestarian bangunan kuno maupun kawasan yang dilindungi kan terdesk oleh lajunya pembangunan kota, terutama pembangunan fisik kota.
Untuk itu perlu juga ditawarkan alternatif lain sebagai bentuk pemecahan yang sangat berkaitan dengan lajunya perkembangan tadi, yaitu sektor pariwisata. Diharapkan dengan sektor ini, potensi kota akan terlihat dan tentu saja akan menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan yang berkunjung ke kota tersebut. Untuk melihat satu warisan budaya berupa bangunan kuno atau lingkungan mas lampau.Sebenarnya kota-kota di Indonesia saat ini sedang sibuk mencari identitas dirinya untuk meningkatkan martabatnya dipasaran pariwista. Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Jakarta dan kota-kota lain sudah memiliki hal tersebut. Tak dapat disangkal lagi arsitektur yang dimiliki oleh kota-kota itu, tanpa disadari sudah lama menjadi investasi yang justru belum banyak dimanfaatkan.


Tulisan ini telah dimuat dalam harian Suara Indonesia Tanggal 23 Juli 1988
http://antariksaarticle.blogspot.com

Tidak ada komentar: